Legowo

Nadyne M. Firdaus
11 min readJun 12, 2024

Salah satu karangan cerita pendek yang nganggur di drive dan tidak berhasil lolos fls2n.

“Ayah, ayo buruan!”

Setengah berlari, Batari menembus hiruk pikuk bandara yang sore itu terasa hingar. Robot pemanggil itu menyebut flight number-ku untuk terakhir kalinya.

“Iya, sabar!” Aku menyahut sambil ngos-ngosan. Baru kusadari, sistem tata bandara secerdas ini pun sia-sia dan takluk oleh Batari, putriku yang buru-buru. Paru-paruku berusaha memompa oksigen maksimal. Jantungku masih berdebar kencang ketika pesawat take off meninggalkan daratan Kalimantan. Horizon cakrawala yang menjingga mengiringi perjalanan kami menuju Surabaya.

Malam itu, rembulan membulat sempurna. Lautan manusia mengitari Pura Luhur Paton nan agung, sebagian mengular ke lintasan menuju puncak Bromo. Seluruh atensi terpusat pada Paruman Dukun Pandita serta pembawa pajeng yang berdiri kokoh di depan Pura, siap memulai ritual Yadnya Kasada. Mata Batari bersinar mengkilat antusias. Berulang kali ia todongkan kamera ke arah barisan masyarakat Tengger yang menyunggi ongkek di kepala, mulai berjalan selaras menuju kawah Bromo. Arak-arakan Yadnya Kasada memang begitu memikat mata. Paduan siluet sempurna berkas cahaya purnama tampak epik menyatu dengan lautan pasir. Batari lagi-lagi menekan tombol shutter kameranya. Tak ia lewatkan sedetikpun momen Yadnya Kasada yang telah lama diidamkannya. Terlebih, alat pengambil gambar itu telah sejak lama menjadi separuh jiwa dan sumber kekuatannya selepas istriku tiada. Sebagaimana Batari buatku, ialah separuh jiwa dan sumber energi hidupku.

Mas Adya wis tekan ndi? Gek ndang mulih yo, Mas. Tak enteni ning Nanggulan.

Lamat-lamat kubaca notifikasi pesan yang baru saja muncul di ponselku. Ketiga kalimat dari Ratri, adik bungsuku itu benar-benar nyata mewakili rintihan kerinduan Emak. Sudah tiga tahun berlalu sejak aku mendapatkan tugas baru di Ibukota Nusantara, belum sekalipun aku menginjakkan kaki kembali di tanah kelahiranku, Jawa. Padahal, aku selalu rindu mengunjungi Emak, pun rumah Joglo kami yang tetap berdiri kokoh meski telah ditempa usia. Lanskap perbukitan Menoreh yang eksotis, lengkap dengan pemandangan sawah dan ladang yang menakjubkan. Aku kian jarang pulang ke Nanggulan bukan lantaran jalannya yang terlalu menanjak, akses sempit yang mengharuskan aku memarkir mobil di rumah Pak Dukuh, ataupun sinyal internet yang susah karena terlalu jauh dari kota. Tapi karena aku terlalu fokus mengurus pekerjaan dan putri semata wayangku.

“Ayah, nanti habis dari acara ini, kita langsung ke rumah Eyang, ‘kan? Tari udah kangen banget sama Eyang!”

Tanpa aba-aba, Batari menyeletuk dari balik kameranya. Senyum lebarnya menghangatkan tubuhku yang kian beku akibat angin Bromo malam itu. Aku pikir, lobus frontal di otak Batari sudah otomatis merancang rencana perjalanan kami nanti.

“Kita di sana bisa stay beberapa hari, kan? Lagian, di sana tuh enak. Setiap hari bisa lihat ijo-ijo! Wah, besok Tari harus belikan Eyang oleh-oleh dong, Yah. Kayaknya mau Tari beliin Pokak saja deh, Eyang pasti suka!” celoteh Batari terpantau antusias.

“Dua hari aja gimana? Toh tiga bulan lalu saat liburan semester kamu udah ngerasain suasana ijo-ijo rumah nenek di Garut. Ayah minggu depan harus ke lapangan lagi, Tari. Klien Ayah sudah mulai proses pembangunan, jadi harus rutin ayah pantau.” Aku tersenyum berusaha menyakinkan Batari.

Bibir Batari menekuk, pemandangan arak-arak Yadnya Kasada sepertinya tak lagi menarik. Sinar matanya meredup seiring kebahagiannya yang meluruh. Jauh di lubuk hati terdalamku, sesungguhnya tak ada secuil aku ingin Batari bersedih. Sejak aku memutuskan untuk mengasuhnya seorang diri sepeninggal istriku wafat lima tahun lalu, aku hampir selalu mengajaknya serta bersamaku. Tak heran ia amat terbiasa dengan ritme tugas-tugas lapanganku yang menempanya menjadi gadis mandiri yang tidak ‘rumahan’. Batari Kahiyang adalah sesosok pribadi dengan keunikan jati diri berbudaya yang kaya. Meski lahir dan besar di tanah Pasundan asal istriku, Batari selalu teguh akan kecintaannya pada budaya Jawa yang kental. Kini, menapaki usia remaja bersamaku di Kalimantan telah menjadikannya semakin unik. Padahal ia baru saja foto KTP sebulan lalu, tapi bagiku ia masihlah anak kecil yang selalu merengek meminta es krim sepulang sekolah sepuluh tahun lalu.

“Ayah, come on, please,” rengek Batari. Pada akhirnya, ia selalu mampu mengalahkan idealisme-ku bila sudah memasuki fase ini. Tak dapat kupingkiri, Batari adalah pahatan sempurna kuasa Tuhan yang mampu menghadirkan sosok istriku di wajahnya. Garis muka serta sikapnya akhir-akhir menjadikan Batari semakin menjelma serupa ibunya, membuatku tak menyisakan daya. Hatiku bergejolak. Mendadak angin kencang datang, menghempas dan menerbangkan ilusiku jauh kembali ke Nanggulan, ke rumah Emak.

Warga kampung Tanjung biasa memanggil wanita janda yang tinggal di rumah joglo itu Mak Tirah. Di kampung kecil yang berada di ujung barat Jogja itu, semua orang hanya tahu bahwa sepeninggal suaminya, ia hanya tinggal bersama keempat anaknya. Siapakah sejatinya keluarga itu, sama misteriusnya dengan Rumah joglo itu. Bukan karena wujud fisiknya yang kentara lebih kokoh, rumah itu terletak amat unik, berada di puncak bukit, nyingkur di ujung kampung. Hanya saja, sebuah nama yang terpahat di salah satu dinding rumah itu menyiratkan penjelasan yang istimewa. Pak Sastro, salah satu tetua kampung Tanjung sempat bercerita, Joglo yang sempat kosong cukup lama itu milik salah satu ‘pembesar’ di kota.

Sebagian warga desa Tanjung meyakini, Mak Tirah dan suaminya bukanlah orang biasa. Kehadirannya yang tiba-tiba dan dalam kondisi hamil tua bersama sang suami, menyisakan tanda tanya yang belum genap terjawab. Beberapa orang yang mengantar di malam saat mereka datang, berperawakan lebih tegap ketimbang kebanyakan orang. Seisi kampung tak ada satupun yang berani mencari jawaban, ketika malam itu Joglo tua yang awalnya sepi seketika riuh, lalu kembali sunyi saat semua pengantar itu pulang.

Di setiap pagi buta, saat ayam masih terlelap, Mak Tirah sudah terjaga. Ritual pagi yang telah sejak lama dilakoni bersama suaminya masih selalu dijaganya. Mak Tirah akan dadhen menyalakan tungku dengan blarak, memasukkan kayu bakar, kemudian menuangkan air nira ke wajan besar di pawon. Begitu air nira selesai dituangkan, Mak Tirah akan bergegas membangunkan anak-anaknya dan bersiap mengomando keluarganya. Anak lelaki tertua akan mengaduk air nira dan membuang buih-buihnya. Si kembar akan bergantian menyetrika baju sekolah dengan setrika arang dan memarut singkong untuk geblek, sedang si bungsu akan selalu tak jauh dari Mak Tirah, mengemasi tabung-tabung cetakan gula aren, atau apapun yang Mak Tirah kerjakan. Rutinitas setiap pagi di rumah joglo itu telah menjadi sebuah kesatuan sistem antar kelima penghuninya. Sebuah sistem epik yang dikomando seorang wanita hebat.

Aku adalah salah satu dari keempat anak itu, satu-satunya anak lelaki Mak Tirah. Kisah perjuangan mengaduk nira itu terpatri pada otot bisepku. Sebagaimana aroma pembakaran yang selalu menempel di kulitku meski aku sudah memakai tawas setiap hari. Dulu Romo pernah ngendikha, itulah jati diri keluarga kami. Sejauh apapun aku dan ketiga saudaraku berkelana, aroma pawon-lah yang senantiasa menjaga kami.

Rest Area 346 tampak lenggang. Perjalananku dengan Batari dini hari ini mungkin terlalu dipaksakan. Kurang dari tiga jam aku akan sampai di Nanggulan, tapi aku tak ingin mengambil resiko. Memaksakan diri menyetir melanjutkan perjalanan saat kantuk datang adalah pantangan bagiku. Batari masih terlelap dalam tidurnya di sampingku. Kuperiksa ponsel yang sedari dari tak kubuka karena menyetir. Sayangnya, tak ada satupun pesan dari Ratri. Entah apa yang dilakukan adikku itu. Bukankah biasanya pagi buta begini ia terjaga dan sesekali menyapaku sembari rapat jarak jauh dengan klien-nya di benua seberang. Rinduku pada Emak seketika menyembul kembali dari hatiku, mencuri kantukku untuk membuka foto-foto Emak saat aku dan Batari berkunjung tiga tahun lalu. Pada sebuah foto lincak yang diambil Batari, lipatan kenanganku pada Emak tetiba menyeruak mengisi seluruh ruang benak.

“Mas Adya, kene-kene lingguh karo Emak.” Emak selalu mengajakku jagongan bilamana purnama mulai menampakkan diri, terlebih saat adik-adikku sudah terlelap. Malam itu, seperti malam-malam biasanya, aku akan duduk patuh di samping Emak di lincak depan rumah dalam penerangan remang-remang lampu teplok. Emak mengelus kepalaku dengan penuh kasih. Aku bisa merasakan kegundahannya ketika aku menyampaikan rencanaku meminang Kartika, pacarku yang asli Sunda. “Le, Jawa lan Sunda iku koyo lengo ro banyu. Ndak bisa ketemu. Pikiren sik tenan.” Aku terdiam. Sejak awal hubunganku dengan Kartika, Emak tak sedikitpun beringsut merestui. Katanya, ada mitos bahwa pernikahan Jawa dan Sunda tak akan pernah tersatukan.

“Emak cuma pingin kamu bahagia, Le.

“Mak, Adya selalu heran kenapa Emak percaya dengan mitos-mitos jawa itu? Bukannya itu tidak sepenuhnya benar, Mak?” Suaraku bergetar, tapi itu tak cukup menggetarkan hati emak. Seketika pelataran itu hening. Bahkan jangkrik saja tak berani bersuara. Netra Emak hanya fokus menikmati rembulan, sedetikpun beliau tak melirikku. Ia tak acuh pada pertanyaanku.

Emak akhirnya bersuara meski tatapannya tak sekalipun berpindah dari bulan purnama yang membuatnya tampak semakin cantik. “Adya, sudah larut. Tidurlah, masih ada hari esok.”

Sejak mulai menginjak SMA, aku makin merasakan begitu banyak perbedaan pandangan hidup dengan Emak. Emak selalu berpedoman pada nilai-nilai Jawa yang terkadang kuanggap usang dan berbeda dengan apa yang aku dapat di bangku sekolah. Sungguhpun begitu, sejak Romo meninggal, Emak adalah soko guru bagi kami anak-anaknya. Emaklah pula tulang punggung sekaligus pundak dan kaki bagi keluarga kami. Maka aku tak punya pilihan lain selain menyimpan Ego itu rapat-rapat di sudut hatiku. Toh, setinggi apapun aku menimba ilmu, buatku Emak adalah maha guru yang tak tergantikan.

Entahlah, aku kadang amat sulit mengerti jalan pikiran Emak. Bertahun-tahun aku berpacaran dengan Kartika, Emak rutin mengingatkan nasihatnya. Berulang kali pula aku tegaskan bahwa aku dan Kartika tidak akan seperti mitos yang Emak yakini itu. Bukankah aku dan Kartika telah teruji tetap saling mencintai. Lagipula itu hanya sisa mitos Diah Pitaloka yang menjadi sisi lain cerita pertelingkahan Majapahit dan Pajajaran. Selalu aku yakinkan bahwa sebagaimana ditulis Benedict Anderson, stereotip Jawa-Sunda adalah intrik politik Hindia Belanda untuk memecah belah saudara sebangsa. Cintaku pada Kartika, telah memaksaku studi ganda, secara formal aku adalah mahasiswa Teknik Arsitektur salah satu kampus ternama di Jogja, tapi di luar itu, aku nyaris tak pernah menyisakan waktu luangku selain untuk mengkaji berbagai referensi studi kultur lintas budaya Jawa dan Sunda.

Sampailah pada sebuah malam ketika aku baru saja menyelesaikan sidang proposalku, kusampaikan rencanaku meminang Kartika sama Emak. Kukatakan padanya bahwa keluarga Kartika telah menyetujui hubungan kami. Sudah terbayang pada cerebrum kami, pernikahan itu — sebagaimana yang selalu Kartika obsesikan — akan fantastis dengan balutan adat Jawa dan Sunda. Kukatakan pada Emak, setelah menikah, kami akan tinggal di desa, akan kubangun sebuah rumah panggung kayu yang indah untuk Kartika. Akan kubuatkan pula taman bunga di belakang rumah untuk anggrek-anggrek kesayangan Kartika. Ah, semua itu akan indah bila Kartika-lah yang berdiri di sampingku.

Le, pikir sik jero kekarepanmu ngepek Kartika dadhi bojomu. Kowe wes reti toh maksude Mak?” Emak mengeluarkan kalimat pamungkasnya, kalimat yang selalu kudengar akhir-akhir ini.

Aku diam. Kalimat itu menikam perasaanku. Hatiku mencelos. “Mak, selama ini Adya maklum kenapa Emak percaya pada mitos-mitos Jawa itu, tapi Adya ndak percaya mitos pernikahan Jawa dan Sunda. Adya dan Kartika tidak seperti itu, Mak.”

Suaraku getir.

Bebojoan iku ora nanging ukara tresna, Le,” balas Emak. Tatapannya menerawang menatap keindahan langit kosmos Nanggulan. Emak seolah sedang meresapi masa lalunya yang tak seorangpun tau. Bisa jadi Emak sedang mengumpulkan serpihan kenangan bersama lelaki yang dicintainya dulu. Ia menarik nafas dan memejamkan mata dalam ritme konstan. Lantas, Emak menatapku sendu. “Adya Renesati, Romo-mu kuwi yo wong Sunda, Le. Emak ndak mau lakon uripku kedhadian mareng critamu karo kartika.” Suara amat lirihnya merasuki sukmaku, seolah kalimat itu dibalut oleh luka penyesalan yang dibiarkan menganga terlalu lama.

Lesu oleh pilu. Aku hanya bisa tertunduk mendengar penjelasan kenapa Emak begitu teguh menentang hubunganku dengan Kartika. Trauma masa lalu kenekatan Emak yang memilih tetap menikah dengan Romo, hampir pasti jadi satu-satunya alasan Emak. Sejak aku tahu bahwa Romo adalah lelaki Sunda, setumpuk pertanyaanku tentang kenapa Emak tetap memilihnya, tak pernah bisa aku lesapkan. Emak selalu bungkam tak bersedia berbagi cerita apapun lagi tentang Romo, tentang keluarga besar Emak, dan bahkan tentang alasan kepindahan kami sekeluarga ke Nanggulan. Upaya pencarianku itu nyatanya justru makin membuatku semakin mencintai Kartika, seiring kebanggaanku pada sosok Emak. Keteguhannya menasehatiku, baginya bukanlah teorema kosong belaka. Sejak aku menemukan rahasia bahwa Emak sebenarnya adalah Raden Ayu Kahiyang Puwasa, salah seorang anggota keluarga terhormat di Ndalem Gedongtengen, aku semakin yakin Emak bukanlah wanita desa biasa. Emak adalah sosok wanita ningrat yang berani memperjuangkan cintanya, sekaligus berkorban demi lelaki yang dicintainya.

Tak seperti biasanya setiap purnama datang, malam itu Emak tak mengajakku jagongan. Kulihat Emak duduk membelakangi pintu kamar. Adik-adikku bungkam saat kutanya alasan Emak mengasingkan diri sejak bakda isya. Sepertinya Emak sedang tidak baik-baik saja.

Le, mreneo nyedak Emak.”

Emak menyadari kehadiranku mendekat ke arahnya. Sebuah album foto kuno yang tak pernah aku lihat sebelumnya, dibukanya pelan. Pada salah satu lembar foto monokrom yang tak lagi ‘tajam’. Emak mengusapnya dengan lembut, sembari sesekali tersenyum menemukan foto lamanya bersama lelaki pujaan di momen pernikahan. “Maafkan Emak yo, Le. Emak ndak akan lagi menghalangi niatmu menjemput takdirmu dengan Kartika. Bene Emak karo Romo-mu sik ngrasake lakon koyok ngono.

Perasaan manusia tidak bisa diukur dan dikira, begitu pula hati Emak yang selama ini memendam rasa. “Maafkan Adya, Mak.” Aku menarik nafas, sejujurnya aku menanti reaksi Emak. “Adya paham sekali, Mak. Adya ndak bermaksud mengungkit masa lalu Emak sama Romo. Selama ini Adya salah tidak toleran dengan pemikiran Emak, kehidupan Emak, dan mimpi-mimpi Emak. Adya seharusnya–”

Le, uwis uwis. Emak ngerti. Segeralah nikahi Kartika, tetapi tetaplah cintai dan jaga Kartika koyo Romo-mu njaga Emak, kowe, lan adhi-adhimu mbiyen.”

Aku tertegun dengan jawaban Emak. Emak mengelus punggung tanganku.

Le, perbedaan kuwi ra iso diawekani, beda iku agawe sampurna.Justru dari sikap bijak melihat perbedaan itulah kita bisa menghadirkan sesuatu jadi sempurna. Semua hanya tergantung pada satu kata, Le. Kowe reti to?” Aku mengangguk. Emak melanjutkan kalimatnya dengan senyum lega.

Legowo.

Mata Emak yang telah diasah perjuangan hidup itu berkaca-kaca. Malam itu, rembulan menjadi saksi tangisan Emak untuk pertama dan terakhir kalinya.

Aku sampai di Nanggulan lebih cepat dari perkiraanku. Adzan Shubuh belum lama berlalu saat aku keluar dari exit tol menuju arah Nanggulan. Bulan saja masih tampak malu-malu tak ingin pergi. Banyak sekali yang telah berubah sejak aku berkunjung ke sini. Jalan desa tak jauh dari rumah Emak yang dulunya hanya berwujud batu, kini sudah disulap menjadi jalan nasional yang membedah bukit Menoreh, menyambungkannya dengan akses jalan tol Bandara Internasional Yogyakarta. Mobilku bahkan mungkin bisa masuk ke halaman rumah Emak sekarang. Ah, sepertinya aku harus meluangkan sebagian otak arsitekku untuk merenovasi rumah masa kecilku itu.

Kubangunkan Batari yang sontak kegirangan mendapati kami telah sampai di halaman rumah Pak Dukuh. Kami butuh lima menit berjalan menuju joglo Emak yang berada di paling ujung desa. Aku mendapati banyak perubahan. Kampung kami yang biasanya sunyi, pagi itu terasa berbeda. Beberapa gerombol pemuda dan pemudi berjalan beriringan. Di tikungan terakhir sebelum menuju rumah Emak, semakin kudapati keganjilan yang membuat jantungku berdegup amat kencang.

Batari berbisik halus, suaranya bergetar. “Ayah, kok rame banget ya. Ada apa di rumah Eyang?”

Aku menggumamkan hal yang sama dengan Batari. Segera kami langkahkan kaki kami lebih cepat. Namun, langkahku sontak terhenti begitu kulihat Ratri berlari sambil berteriak sejadi-jadinya. Wajahnya seolah luruh saat menyadari kehadiranku. “Mas Adya, Emak, Mas…. Mas Adya! Emak!”

Aku tersentak. “Kenapa, Rat? Ada apa dengan Emak? Coba jelaskan sek alon-alon.” tanyaku berusaha tetap tenang menghadapi tangisan Ratri.

Tak sepatah katapun terucap, Ratri justru mendekapku begitu erat. Batari yang lebih dulu menyadari apa yang sebenarnya terjadi ikut menjerit dalam pelukanku. Duniaku seketika tergoncang hebat saat kusadari bahwa keramaian itu para pelayat. Tubuhku bergetar, Ratri perlahan melepas pelukannya. Langkah kakiku begitu gontai menuju dalam rumah. Batari masih menggenggam erat tanganku, sengguk tangisnya sendu sekali. Terdengar begitu perih persis seperti saat istriku tiada dulu.

“Ayah, Eyang, Yah …,” lirih Batari seiringan dengan langkah kami mendekati jenazah Emak. Para pelayat kompak menyingkir begitu aku dan Batari sampai. Aku masih bisa mengingat betapa cantik wajah dan harumnya aroma Emak yang kupeluk pagi itu, sebelum akhirnya semua terasa gelap.

Kadang kala, aku merindukan atmosfer jagongan bareng Emak. Karena itulah ruang di mana aku merasa dapat mereset diriku sendiri. Bersama Emaklah aku bisa menaruh sejenak semua beban pikirku. Apalagi semenjak Kartika meninggal, semua jadi terasa berat buatku. Namun, suatu waktu, jagongan bersama Emak terasa berbeda.

Le, kowe ora arep nggolek bojo meneh po?”

Mboten, Mak. Adya mau jaga Batari seorang diri saja, sebagaimana Emak dulu menjaga Adya. Adya akan belajar menjalani hidup seperti Emak.” Mata kami saling bersitatap. Emak tersenyum menyimak keputusanku. “Belajar untuk legowo.

“Eh Mak, Jangan-jangan mitos itu benar ya? Adya dengan Kartika ternyata ndak bisa bersatu, eh Emak dan Romo pun dulu kok yo begitu, ‘kan?”

Emak tertawa puas. “Takdire awake dhewe kih jebul podo yo, Le.”

©Nadyne M. Firdaus, 2024

--

--

Nadyne M. Firdaus

Tentang hari-hari penuh sambat dan bulu kucing. Terkadang menulis, terkadang bersuka dan berduka cita, terkadang hanya tidur. Bagaimanapun saya memang manusia.