Mimpi Tidak Butuh Pagar

Nadyne M. Firdaus
3 min readJun 16, 2024

--

Dulu saya sempat tak menyangka saya akhirnya dapat mencapai umur tujuh belas tahun. Umur yang katanya berkaitan erat dengan pencarian jati diri. Seluruh tingkah laku kami pasti dikaitkan dengan jati diri. Katanya pula, umur di fase ini melegalkan kegagalan. Masa di mana trial and error masih dimaklumkan. Tak perlu heran bila mimpi kami mengalahkan jarak planet Neptunus dan Bumi. Kami pasti berusaha sekeras mungkin untuk mewujudkan harapan itu. Sesusah apapun itu. Berapapun kegagalan yang kami peroleh dari setiap usaha.

Tapi waktu terus berjalan. Mau sampai kapan kegagalan kami terus dimaklumi? Keberanian dan kepercayaan diri berubah menjadi rasa takut. Normalnya kalimat dalam kepala lantas berubah menjadi “gimana kalau …” atau “bisa nggak ya?

Saya pun mengalami hal yang sama selayaknya remaja. Ketakutan saya akan adanya KTP di dompet melebihi kekesalan saya karena jeleknya wajah saya di kartu itu. Saya belum puas menjadi anak-anak. Saya masih tidak dapat beranjak dari masa itu. “Kenapa tiba-tiba udah tujuh belas aja? Aku udah ngapain aja ya?” tak elak selalu menjadi pertanyaan saya di bulan Januari saat itu.

Pantas rasanya jika kita sebut KTP adalah Kartu Tanda Pendewasaan. Saya rasa sudah tidak umum lagi memaklumkan kesalahan-kesalahan kami. Kartu biru itu telah jadi pertanda kami harus ditempa agar nantinya tidak terkejut dengan kenyataan sebenarnya. Lantas sedikit sedikit mengadu dan merepotkan generasi tua. Benarkah begini kualitas generasi yang katanya akan menjadi bonus demografi?

Impian dan kenyataan adalah hal yang berbeda.

Kita boleh bermimpi seliar apapun, tapi bagaimanapun juga kenyataan tidak dapat mewujudkannya jika memang semesta berkata demikian. Pendewasaan bagi saya adalah dapat menyadari kapasitas impian kita masing-masing. Bermimpilah seliar mungkin selama itu dalam batas kenyataan kita. Boleh katakan saya pesimis karena saya dulu tak percaya saya mampu menjadi orang. Saya tidak percaya diri akan jangkauan kenyataan saya. Saya membangun pagar fana yang tak pernah ada di kamus bahasa manapun. Pagar kenyataan yang mengurung mimpi-mimpi saya.

Saya pernah mengurung mimpi saya menjadi Arsitek. Kuliah itu akan memakan biaya dan waktu yang cukup besar. Biaya pembuatan maket dan perintilan alat tulis lainnya akan merobek dompet orang tua saya. Sudah cukuplah saya mencintai estetika bangunan dari jauh, sebagai pengamat dan pengagum. Impian itu saya simpan rapat-rapat dalam kotak kecil di hati saya. Suatu hari nanti, bila Allah memberi saya kesempatan untuk memiliki waktu dan harta berlebih, saya ingin bersungguh-sungguh mempelajari bidang ini. Saya ingin dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan Indonesia.

“Kak, nggak ada orang sukses yang nggak kenal namanya susah,” tutur Ayah. Di balik asap rokok yang mengepul, saya tahu Ayah menyimpan lelahnya. Hanya malam-malam selepas sekolah saja Ayah dapat menanamkan spirit perjuangan ke anak-anaknya. “Kamu tau proses cara bikin santan, ‘kan?”

“Santan?”

Saya heran. Kenapa tiba-tiba membahas olahan kelapa itu? Bukankah kami seharusnya berbicara kedewesaan? Bukan salah satu bahan pembuat masakan daerah itu, ‘kan? “Uhmm, kelapanya diparut trus diperes?”

“Nah, begitu pula hidup, Kak.” Ayah mengisap rokoknya kembali. “Hanya kelapa yang jatuh dari pohon yang dipilih untuk menjadi santan. Sudah jatuh, kelapa harus dipisahkan dari sabutnya dengan ditarik sampai tinggal batok. Setelah itu, batok kelapa harus dipecahkan biar dapet isi kelapa. Lagi-lagi isi kelapa masih harus dipisahkan, lalu diparut, hingga diperas.”

“Belum lagi kalau mau jadi minyak, santan masih harus dimasak lagi tho, Yah?” timpal Ibu saya seraya meletakkan lima cangkir gelas di meja teras. Lengkap sudah keluarga kami di teras.

“Lama banget lho itu dimasaknya.”

“Iya. Tuh kan, cuma buat jadi minyak aja selama dan semenyangkitkan itu prosesnya.” Kali ini Ayah menyesap kopinya. Saya dan saudara-saudara saya manggut-manggut takzim. “Kayak yang Ayah udah bilang tadi. Begitulah hidup. Apa yang Mamas, Kakak, dan Zuna rasain sekarang itu bagian ujian dari Allah. Kalian harus ditempa untuk sukses. Biar kalian nggak sekedar sukses biasa. Tapi orang sukses yang mengenal nilai-nilai kehidupan dan bermanfaat bagi sesama. Itulah makna sukses sesungguhnya.”

Malam itu saya tersadarkan bahwa saya dapat memperluas pagar kenyataan saya. Mimpi saya tak akan lagi terkungkung dalam pagar kenyataan yang sempit bila saya memperluas pagar itu, ‘kan? Saya bisa melakukan itu dengan usaha. Usaha guna merubah mimpi saya menjadi kenyataan.

Malam itu, saya kembali memeluk mimpi saya.

Teruntuk sang pemilik langit dan bumi,
bolehkah hamba memeluk mimpi-mimpi hamba kembali?

Teruntuk sang pencipta,
bolehkah hamba diberi kesempatan mewujudkan mereka?

--

--

Nadyne M. Firdaus

Tentang hari-hari penuh sambat dan bulu kucing. Terkadang menulis, terkadang bersuka dan berduka cita, terkadang hanya tidur. Bagaimanapun saya memang manusia.